https://kinganddukeatl.com

https://greenopportunities.org

https://www.bunzburgerz.com

https://www.depotbaltimore.com

miftachus sunnah 2 – Yayasan Pondok Pesantren Miftachussunnah
MTs MS adakan Haflatul Al Quran 1 Bulan 1 Juz  

MTs MS adakan Haflatul Al Quran 1 Bulan 1 Juz  

“Di Surabaya hanya MTs Miftachus Sunnah ada Program menghafal Al-Qur’an 1 Bulan 1 Juz,” ujar pak Yos

MTs MS – MTs Miftachus Sunnah (MS) Sebagai Madrasah yang berada di bawah naungan Pondok Pesantren Miftachus Sunnah berusaha focus melaksanakan program kegiatan Tahfidz. Tahfidz atau menghafal Al-Qur’an adalah suatu proses untuk memelihara, menjaga dan melestarikan kemurnian Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah SAW dengan cara menghafal diluar kepala agar tidak terjadi perubahan dan pemalsuan serta dapat menjaga dari kelupaan baik secara keseluruhan ataupun sebagiannya.

Dalam kegiatan Tahfidz para pembimbing Tahfidz dibawah koordinasi Lembaga Tahfidzul Quran Ponpes MS terus mengupayakan memotivasi anak agar mampu mengejar target hafalan. Target hafalan 1 Bulan 1Juz.

Banyak orang beranggapan bahwa menghafal Al Qur’an bisa menjadi beban, padahal sebenarnya menghafal Al Qur’an memiliki banyak sekali manfaatnya, salah satunya adalah dapat meningkatkan prestasi belajar anak di sekolah. Menghafal Al Qur’an atau biasa dikenal dengan tahfidz memiliki dua hal yang harus dipenuhi, yakni hafal dalam ingatan dan bisa mengucapkannya kembali diluar kepala tanpa membaca Al Qur’an atau catatan lain. Anak yang terbiasa dalam menghafal Al Quran, secara tidak langsung dia akan lebih bisa berdisiplin dan mengatur waktu.

Sekaligus anak juga akan belajar keseriusan dalam menjalani hidup. Menghafal Al Quran mempunyai pengaruh yang baik dalam pengembangan ketrampilan dasar siswa sehingga bisa meningkatkan prestasi akademik mereka.

Dalam kegiatan Haflatul Quran Tahfidz yang diselenggarakan pada hari Sabtu (10/8), MTs MS berhasil menyelesaikan satu bulan satu Juz berjumlah 21 siswa dari 39 siswa. Terdapat 2 siswa yang mendapat penghargaan sebagai peserta terbaik. Yaitu atas nama Nabila dan Jihan. Dalam acara ini , KH Muzakki Yamani Pengasuh Pondok Pesantren MS menyambut baik kegiatan Tahfidz di MTs MS dan mendorong agar semakin digiatkan.

Sementara itu, H. Fauzie Mustaqiem Yos yang kini menjabat staf ahli bidang kemasyarakatan dan sumber daya manusia Walikota Surabaya menyampaikan selamat kepada anak-anak yang berhasil menghafalkan satu bulan satu Juz. “Saya sangat bangga pada kegiatan Tahfidz ini dan di Surabaya mungkin baru di MTs Miftachus Sunnah yang mempunyai program ini, semoga kedepannya akan semakin banyak siswa yang berhasil menghafal Al Qur’an sesuai target,” ujarnya. ms

 

Menyimak Pengalaman Nyantri KH Miftachul Akhyar

Menyimak Pengalaman Nyantri KH Miftachul Akhyar

MSNews – KH Miftachul Akhyar merupakan sosok pimpinan tertinggi di jamiyah Nahdlatul Ulama. Kiai asal Surabaya ini menjabat sebagai Rais Aam PBNU masa khidmah 2022-2027 sebagaimana hasil dari Muktamar NU ke-34 yang diselenggarakan di Lampung pada 2021 lalu. Sebagai pimpinan tertinggi NU, tentunya banyak yang mencari profil kiai yang merupakan putra kedelapan dari tiga belas bersaudara dari KH Abdul Ghoni ini, terutama latar belakang atau pengalaman nyantri Kiai Miftah.

Menuntut ilmu di pondok pesantren atau nyantri menjadi pengalaman berharga bagi banyak orang. Termasuk bagi tokoh yang saat ini memimpin organisasi Nahdlatul Ulama, KH Miftachul Akhyar. Ulama asal Surabaya itu kini menjabat sebagai Rais Aam PBNU masa khidmah 2022-2027. Dalam video berjudul Pengalaman Menjadi Santri – Lebih Dekat KH Miftachul Akhyar yang diunggah di YouTube NU Online, Pengasuh Pesantren Miftachussunnah Surabaya ini menceritakan pengalaman nyantrinya.

Kiai Miftach menyebut, pendidikannya semasa kecil ada di lingkungan rumah, pernah sekolah di Sekolah Rakjat atau SR (kini SD) namun hanya sampai kelas 5 saja. “Sejak kecil saya pendidikannya ya di rumah, dulu ada sekolah SR, ikut pendidikan itu sampai kelas 5. Jadi kemungkinan usia-usia yang masih 8 tahun, lalu mondok,” kata Kiai Miftach.

Nyantri di Tambak Beras dan Sidogiri Kiai Miftach menyampaikan bahwa ia pernah nyantri di Tambak Beras Jombang. Namun durasinya tidak begitu lama. “Mondoknya ini pernah ke Tambak Beras, tapi sejak kecil,” ucap kiai yang pernah menjadi Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur masa khidmah 2007-2015 ini.

“Kira-kira tiga tahun di Tambak Beras, ya belum selesai, lalu pindah pada tahun 1967-1969 saya di Sidogiri, saya sampai kelas satu tsanawiyah. Jadi sempat ikut ujian MI-nya, ibtidaiyahnya, kan sana diakui ya,” tambahnya. ad Kiai Miftach melanjutkan ceritanya, ia pernah berhenti sejenak mondok selama satu tahun pada 1970-an. Kiai Miftah sampai kena marah abahnya.

“Setelah itu kira-kira tahun 1970-an, saya di rumah, istilahnya tidak mondok lah. Setelah satu tahun di pondok, abah marah terus karena saya sudah mutung, tidak mau mondok sampai-sampai saya tidak disapa selama satu tahun, tidak diperhatikan,” bebernya.

“Baru saya sedikit ada kesadaran, kalau begini terus saya bagaimana? Pergaulan hampir terpengaruh dengan anak-anak di Surabaya. Alhamdulillah akhirnya timbul kesadaran, saya mau mondok lagi, tapi saya meminta pondok yang tidak ada sekolahnya,” ungkap Kiai Miftach. Lanjut nyantri di Lasem Setelah timbul kesadaran dan memberikan persyaratan jika mondok kembali, akhirnya Kiai Miftach melanjutkan kembali perjalanannya nyantri dan Pesantren Al-Ishlah Lasem asuhan Syekh Masduqi.

“Akhirnya di Lasem itu, tahun 1971 saya mondok di lasem. Alhamdulillah sampai 3 tahun, tahun 1974 saya pulang,” ungkapnya. Rencananya, jelas Kiai Miftah, saat pulang itu dirinya hendak melanjutkan belajar di Makkah di tempat Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, namun karena sakit rencana tersebut terpaksa kandas.

“Waktu pulang itu saya maunya ke Makkah, karena waktu itu Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki mau menerima pelajar atau santri dari Indonesia, tapi saya sakit selama satu tahun. Akhirnya tidak jadi ke Makkah,” jelasnya. “Di pertengahan sakit itu, keluarga dari Lasem datang ke Surabaya untuk menikahkan saya. Jadi saya nikah usia muda, kira-kira 21-22 tahun, tahun 1975 menikah, kira-kira sampai tahun 77 saya di Lasem, setelahnya saya bawa ke Surabaya,” tambahnya.

Menurut Kiai Miftach, alasan dirinya mondok di Lasem adalah karena petunjuk dari kakak iparnya. “Saya di Lasem di Kiai Masduqi, di Al-Ishlah, karena kebetulan kakak ipar saya sekurun dengan Kiai Mustofa Lekok, Kiai Dahlan Al-Hafidz Peneleh itu, mondoknya bersama jadi satu, ini yang memberi petunjuk saya untuk ke Lasem,” urainya.

“Bahkan saya diantar ke Lasem, jadi ke sana tidak diantar oleh abah karena masih marah, baru sekitar dua bulan abah baru nyambangi karena saya mau mondok lagi. Ya seperti itulah pengalaman, jadi tidak banyak,” imbuh Kiai Miftach.

Nyantri dengan Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Sekitar tahun 1977-1978, keinginan Kiai Miftach untuk mengaji dengan Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki terwujud. Namun sedikit berbeda daripada keinginan awalnya, kali ini Kiai Miftach di Malang pada saat Sayyid Muhammad sedang ada di sana.

“Kira-kira tahun 1977-1978 itu kan Sayyid Muhammad ke Indonesia, beliau tinggal di Malang, saya dipanggil. Ada 15 pemuda dipanggil untuk ikut daurah, tiap Sabtu-Rabu, saya di Malang, nanti pulang, itu berjalan sampai 6-8 bulan. Itu daurah ula, tapi setelah itu tidak ada daurah lagi,” jelas Kiai Mitach. “Jadi pada saat itu ada Kiai Masbuchin, Kiai Muchith, Kiai Midkhal, dari Langitan ada, ada 15 dari luar Jawa. Dari Sarang ada Gus Najih tapi masih kecil dan datangnya menyusul,” imbuh dia. (nuonline)

KH Miftachul Akhyar : NU bukan Nunut Urip tapi Noto Urip

KH Miftachul Akhyar : NU bukan Nunut Urip tapi Noto Urip

MSnews – Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftahul Akhyar mengatakan bahwa NU adalah organisasi yang bertujuan untuk menata hidup bukan ikut hidup. Hal tersebut berupaya untuk mewujudkan kemaslahatan dunia secara keseluruhan “NU bukan nunut urip tapi noto urip (NU bukan ikut hidup tapi menata hidup),” kata Kiai Miftach dalam pembukaan Konferensi Besar NU 2024 di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Bantul, DI Yogyakarta, waktu lalu.

Kiai Miftach menganjurkan untuk mengikuti perintah organisasi NU yang dimulai dari komando garis perintah pimpinan paling tertinggi NU. “Oleh karena itu di beberapa tempat saya sampaikan, isma athi’u (dengarkan taatilah) karena itu sangat dipesankan Rasulillah saw. Jamiyyah yang Mardhiyyah (NU) ini organisasi terbesar sedunia bahkan terbesar dunia dan akhirat. Ini nikmat yang besar diberikan kesempatan ikut nata, disamping memperbaiki diri,” jelas Kiai Miftach.

Kiai Miftach mengungkapkan, untuk menata kehidupan warga NU dan masyarakat harus dapat menerjemahkan makna agama Islam secara benar ke seluruh penjuru dunia.

“Inilah NU ingin memerankan, ingin menjadi mutarjim (penerjemah) semampunya menerjemahkan dakwah islamiyah yang besar, dakwah yang merangkul tidak memukul, dakwah yang  membina tidak menghina, dakwah yang menyayangi tidak menyaingi dan dakwah yang simpatik,” tegasnya.

Kiai Miftach juga menyampaikan, untuk membangkitkan NU. Ia mengajak untuk adil dalam menilai seseorang, sehingga tidak boleh salah menilai sesuai dengan kemampuan masing-masing.

“Apa yang dianggap besar, punya nilai ya kita besarkan, mengagumkan apa yang memang agung dan mengecilkan apa yang hakikatnya kecil karena ulama adalah sosok yang mampu memberikan mereka yang punya hak. Memberikan hak mereka yang memang haknya,” ungkapnya.

“Ini sebetulnya makna versi (saya) dalam memaknai NU,” sambung Kiai Miftach. Tindakan tersebut, menurut Kiai Miftach sesuai dengan perintah agama Islam yang berkutat pada syariat yang diturunkan Allah kepada para hambanya.

“Karena agama kita sebagai agama yang terakhir, tentu lebih sempurna dari agama yang terakhir tentu lebih sempurna dari agama sebelumnya dan menyempurnakan dari kekurangan agama lain,” katanya. (nuonline)

 

K.H. M. Cholil Nafis Ph.D : Pondok Pesantren Tempat Mencetak Generasi Berkualitas

K.H. M. Cholil Nafis Ph.D : Pondok Pesantren Tempat Mencetak Generasi Berkualitas

Surabaya, MS2 – Tradisi keilmuan di Pondok Pesantren merupakan tempat mencetak generasi bangsa yang berkualitas, dikarenakan adanya penggabungan antara kurikulum pengetahuan umum dan agama, hal ini disampaikan oleh K.H. Muhammad Cholil Nafis, Lc., M.A., Ph.D. waktu lalu.

“Tidak semua kita diberi kesadaran untuk memondokkan anak-anaknya. Di pesantren ilmu itu syarat akan sanad. Jadi jelas kita belajar dengan siapa, lalu guru kita belajar kepada siapa. Tidak sembarangan dan asal-asalan tradisi keilmuannya,” ungkapnya.

Dia mengatakan sanad memiliki kedudukan sangat penting selama proses belajar, khususnya ilmu agama. Hal ini dikarenakan apa yang telah kita perbuat termasuk belajar, semuanya akan dimintai dipertanggugjawaban di hadapan Allah.

Menurut Kiai Cholil, pilihan orang tua untuk mendidik anaknya pondok pesantren bukan atas dasar dengki, namun bentuk kasih sayang kepada anak masa depan dirinya, bangsa, hingga dunia.

“Sekarang kita bisa lihat, banyak orang yang tidak jelas gurunya siapa, akhirnya banyak yang merujuk dan bertanya kepada Google. Ujung-ujungnya pemahaman mereka salah dan memicu lahirnya aliran sesat, karena belajar agama tidak memiliki guru,” jelas Kiai Cholil.

Di samping itu, Kiai Cholil menyampaikan bahwa bukan sesuatu yang mustahil apabila Nabi Muhammad menerima langsung wahyu Alquran dari Allah. Akan tetapi justru yang terjadi adalah Nabi menerima wahyu melalui perantara Malaikat Jibril.

Di sinilah isyarat yang Allah ajarkan bahwa adanya sanad dan sambungan ilmu dalam agama bukan sembarangan dan akal-akalan belaka. Bahkan dengan tegas Kiai Cholil mengingatkan jika seseorang belajar ilmu agama secara otodidak maka gurunya adalah setan.

“Jangan takut jadi santri atau hanya karena belajar di pesantren. Sudah banyak teladan bahwa santri bisa jadi pemimpin bangsa. Mulai dari jadi presiden contohnya Gus Dur, wakil presiden KH. Ma’ruf Amin, bahkan yang jadi menteri tidak terhitung jumlahnya, apalagi yang menjabat sebagai anggota dewan,” pungkasnya. mui

 

Prof M. Ali Ramdhani : Pilih Pesantren Harus Ada Kiainya

Prof M. Ali Ramdhani : Pilih Pesantren Harus Ada Kiainya

MS2, Jakarta – Orang tua dapat menyekolahkan anak-anak mereka di pesantren. Melalui pendidikan pesantren, anak-anak dilatih mandiri dan memiliki pemahaman ilmu agama yang lebih dalam.

Orang tua tak perlu ragu lagi menyekolahkan anaknya di pesantren. Pasalnya di Indonesia banyak pesantren yang berkontribusi besar dalam dunia pendidikan dan menjadi tempat mengenyam ilmu bagi tokoh agama dan pemimpin besar di Indonesia.

Tokoh-tokoh itu adalah KH Abdurrahman Wahid, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, hingga menteri dan kepala daerah yang pernah menjadi santri pesantren. Sebagaimana disinggung Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag M. Ali Ramdhani soal pesantren sebagai tempat yang tepat untuk pengembangan anak.

“Ini sesungguhnya memberikan fakta bahwa pesantren adalah tempat yang aman, layak, dan tepat untuk pengembangan anak bangsa,” kata Dhani .

Walaupun beberapa waktu ini eksistensi pesantren sempat terganggu akibat adanya isu kekerasan seksual dan terorisme yang muncul di pesantren. Hal itulah yang menjadi kekhawatiran untuk sebagian orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di pesantren.

Dhani berpendapat orang tua tidak perlu khawatir lagi apabila mereka benar-benar memahami bagaimana keadaan pesantren sesungguhnya.

“Saya ingin mengingatkan bagi seluruh anak bangsa, terutama kepada seluruh orang tua yang hari ini ingin menitipkan anaknya dalam proses pendidikan pondok pesantren perlu melihat apakah lembaga yang menyebut dirinya pesantren memiliki arkanul ma’had (rukun pesantren),” ujar Dhani.

Setidaknya, ada tiga hal penting yang disebut Dhani perlu diperhatikan oleh orang tua sebelum memilih pesantren. Berikut ulasan selengkapnya.

3 Tips Memilih Pesantren

  1. Ada Sosok Kiai Pengajar

Ada lima hal yang menjadi rukun pesantren. Salah satunya yaitu sosok kiai yang menjadi figur teladan dan pengasuh yang dapat membimbing santri.

“Lihat sanad keilmuannya. Sanad keilmuannya jelas, ada kiainya. Jangan menitipkan ke pesantren yang gurunya hanya satu tunggal,” kata Dhani.

  1. Memiliki Fasilitas yang Mumpuni

Rukun pesantren yang harus terpenuhi selanjutnya yaitu santri mukim. Santri mukim ini mencakup pondok atau asrama, masjid atau mushola, dan juga ada kajian kitab kuning.

“Jadi perhatikan, sanad keilmuannya, ada kiainya, memiliki fasilitas yang baik, dan ada pembelajaran kitab kuning,” terang dia.

  1. Pesantren yang Inklusif

Dhani mengatakan pesantren harus bersifat inklusif. Atau dalam artian, pesantren yang dipilih orang tua adalah pesantren yang memberikan izin terbuka bagi orang tua dalam berkunjung ke pesantren.

“Dan tentu saja pesantren bersifat inklusif. Orang tua boleh nengok, masyarakat boleh lihat. Dengan demikian saya bisa mengatakan pesantren aman dan layak menjadi tempat orang tua menitipkan pendidikan anak,” tutupnya. dtk

 

https://kinganddukeatl.com

https://greenopportunities.org

https://www.bunzburgerz.com

https://www.depotbaltimore.com