https://kinganddukeatl.com

https://greenopportunities.org

https://www.bunzburgerz.com

https://www.depotbaltimore.com

July 2024 – Yayasan Pondok Pesantren Miftachussunnah
Menyimak Pengalaman Nyantri KH Miftachul Akhyar

Menyimak Pengalaman Nyantri KH Miftachul Akhyar

MSNews – KH Miftachul Akhyar merupakan sosok pimpinan tertinggi di jamiyah Nahdlatul Ulama. Kiai asal Surabaya ini menjabat sebagai Rais Aam PBNU masa khidmah 2022-2027 sebagaimana hasil dari Muktamar NU ke-34 yang diselenggarakan di Lampung pada 2021 lalu. Sebagai pimpinan tertinggi NU, tentunya banyak yang mencari profil kiai yang merupakan putra kedelapan dari tiga belas bersaudara dari KH Abdul Ghoni ini, terutama latar belakang atau pengalaman nyantri Kiai Miftah.

Menuntut ilmu di pondok pesantren atau nyantri menjadi pengalaman berharga bagi banyak orang. Termasuk bagi tokoh yang saat ini memimpin organisasi Nahdlatul Ulama, KH Miftachul Akhyar. Ulama asal Surabaya itu kini menjabat sebagai Rais Aam PBNU masa khidmah 2022-2027. Dalam video berjudul Pengalaman Menjadi Santri – Lebih Dekat KH Miftachul Akhyar yang diunggah di YouTube NU Online, Pengasuh Pesantren Miftachussunnah Surabaya ini menceritakan pengalaman nyantrinya.

Kiai Miftach menyebut, pendidikannya semasa kecil ada di lingkungan rumah, pernah sekolah di Sekolah Rakjat atau SR (kini SD) namun hanya sampai kelas 5 saja. “Sejak kecil saya pendidikannya ya di rumah, dulu ada sekolah SR, ikut pendidikan itu sampai kelas 5. Jadi kemungkinan usia-usia yang masih 8 tahun, lalu mondok,” kata Kiai Miftach.

Nyantri di Tambak Beras dan Sidogiri Kiai Miftach menyampaikan bahwa ia pernah nyantri di Tambak Beras Jombang. Namun durasinya tidak begitu lama. “Mondoknya ini pernah ke Tambak Beras, tapi sejak kecil,” ucap kiai yang pernah menjadi Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur masa khidmah 2007-2015 ini.

“Kira-kira tiga tahun di Tambak Beras, ya belum selesai, lalu pindah pada tahun 1967-1969 saya di Sidogiri, saya sampai kelas satu tsanawiyah. Jadi sempat ikut ujian MI-nya, ibtidaiyahnya, kan sana diakui ya,” tambahnya. ad Kiai Miftach melanjutkan ceritanya, ia pernah berhenti sejenak mondok selama satu tahun pada 1970-an. Kiai Miftah sampai kena marah abahnya.

“Setelah itu kira-kira tahun 1970-an, saya di rumah, istilahnya tidak mondok lah. Setelah satu tahun di pondok, abah marah terus karena saya sudah mutung, tidak mau mondok sampai-sampai saya tidak disapa selama satu tahun, tidak diperhatikan,” bebernya.

“Baru saya sedikit ada kesadaran, kalau begini terus saya bagaimana? Pergaulan hampir terpengaruh dengan anak-anak di Surabaya. Alhamdulillah akhirnya timbul kesadaran, saya mau mondok lagi, tapi saya meminta pondok yang tidak ada sekolahnya,” ungkap Kiai Miftach. Lanjut nyantri di Lasem Setelah timbul kesadaran dan memberikan persyaratan jika mondok kembali, akhirnya Kiai Miftach melanjutkan kembali perjalanannya nyantri dan Pesantren Al-Ishlah Lasem asuhan Syekh Masduqi.

“Akhirnya di Lasem itu, tahun 1971 saya mondok di lasem. Alhamdulillah sampai 3 tahun, tahun 1974 saya pulang,” ungkapnya. Rencananya, jelas Kiai Miftah, saat pulang itu dirinya hendak melanjutkan belajar di Makkah di tempat Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, namun karena sakit rencana tersebut terpaksa kandas.

“Waktu pulang itu saya maunya ke Makkah, karena waktu itu Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki mau menerima pelajar atau santri dari Indonesia, tapi saya sakit selama satu tahun. Akhirnya tidak jadi ke Makkah,” jelasnya. “Di pertengahan sakit itu, keluarga dari Lasem datang ke Surabaya untuk menikahkan saya. Jadi saya nikah usia muda, kira-kira 21-22 tahun, tahun 1975 menikah, kira-kira sampai tahun 77 saya di Lasem, setelahnya saya bawa ke Surabaya,” tambahnya.

Menurut Kiai Miftach, alasan dirinya mondok di Lasem adalah karena petunjuk dari kakak iparnya. “Saya di Lasem di Kiai Masduqi, di Al-Ishlah, karena kebetulan kakak ipar saya sekurun dengan Kiai Mustofa Lekok, Kiai Dahlan Al-Hafidz Peneleh itu, mondoknya bersama jadi satu, ini yang memberi petunjuk saya untuk ke Lasem,” urainya.

“Bahkan saya diantar ke Lasem, jadi ke sana tidak diantar oleh abah karena masih marah, baru sekitar dua bulan abah baru nyambangi karena saya mau mondok lagi. Ya seperti itulah pengalaman, jadi tidak banyak,” imbuh Kiai Miftach.

Nyantri dengan Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Sekitar tahun 1977-1978, keinginan Kiai Miftach untuk mengaji dengan Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki terwujud. Namun sedikit berbeda daripada keinginan awalnya, kali ini Kiai Miftach di Malang pada saat Sayyid Muhammad sedang ada di sana.

“Kira-kira tahun 1977-1978 itu kan Sayyid Muhammad ke Indonesia, beliau tinggal di Malang, saya dipanggil. Ada 15 pemuda dipanggil untuk ikut daurah, tiap Sabtu-Rabu, saya di Malang, nanti pulang, itu berjalan sampai 6-8 bulan. Itu daurah ula, tapi setelah itu tidak ada daurah lagi,” jelas Kiai Mitach. “Jadi pada saat itu ada Kiai Masbuchin, Kiai Muchith, Kiai Midkhal, dari Langitan ada, ada 15 dari luar Jawa. Dari Sarang ada Gus Najih tapi masih kecil dan datangnya menyusul,” imbuh dia. (nuonline)

KH Miftachul Akhyar : NU bukan Nunut Urip tapi Noto Urip

KH Miftachul Akhyar : NU bukan Nunut Urip tapi Noto Urip

MSnews – Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftahul Akhyar mengatakan bahwa NU adalah organisasi yang bertujuan untuk menata hidup bukan ikut hidup. Hal tersebut berupaya untuk mewujudkan kemaslahatan dunia secara keseluruhan “NU bukan nunut urip tapi noto urip (NU bukan ikut hidup tapi menata hidup),” kata Kiai Miftach dalam pembukaan Konferensi Besar NU 2024 di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Bantul, DI Yogyakarta, waktu lalu.

Kiai Miftach menganjurkan untuk mengikuti perintah organisasi NU yang dimulai dari komando garis perintah pimpinan paling tertinggi NU. “Oleh karena itu di beberapa tempat saya sampaikan, isma athi’u (dengarkan taatilah) karena itu sangat dipesankan Rasulillah saw. Jamiyyah yang Mardhiyyah (NU) ini organisasi terbesar sedunia bahkan terbesar dunia dan akhirat. Ini nikmat yang besar diberikan kesempatan ikut nata, disamping memperbaiki diri,” jelas Kiai Miftach.

Kiai Miftach mengungkapkan, untuk menata kehidupan warga NU dan masyarakat harus dapat menerjemahkan makna agama Islam secara benar ke seluruh penjuru dunia.

“Inilah NU ingin memerankan, ingin menjadi mutarjim (penerjemah) semampunya menerjemahkan dakwah islamiyah yang besar, dakwah yang merangkul tidak memukul, dakwah yang  membina tidak menghina, dakwah yang menyayangi tidak menyaingi dan dakwah yang simpatik,” tegasnya.

Kiai Miftach juga menyampaikan, untuk membangkitkan NU. Ia mengajak untuk adil dalam menilai seseorang, sehingga tidak boleh salah menilai sesuai dengan kemampuan masing-masing.

“Apa yang dianggap besar, punya nilai ya kita besarkan, mengagumkan apa yang memang agung dan mengecilkan apa yang hakikatnya kecil karena ulama adalah sosok yang mampu memberikan mereka yang punya hak. Memberikan hak mereka yang memang haknya,” ungkapnya.

“Ini sebetulnya makna versi (saya) dalam memaknai NU,” sambung Kiai Miftach. Tindakan tersebut, menurut Kiai Miftach sesuai dengan perintah agama Islam yang berkutat pada syariat yang diturunkan Allah kepada para hambanya.

“Karena agama kita sebagai agama yang terakhir, tentu lebih sempurna dari agama yang terakhir tentu lebih sempurna dari agama sebelumnya dan menyempurnakan dari kekurangan agama lain,” katanya. (nuonline)

 

https://kinganddukeatl.com

https://greenopportunities.org

https://www.bunzburgerz.com

https://www.depotbaltimore.com